Selasa, 02 Februari 2010

The Shines of Love


Ni foto terbaik lainnya.. met menikmati..

Jumat, 28 Agustus 2009


Di samping itu adalah foto hasil terbaikku, diambil waktu menunggu sang ayah dari Yogyakarta...

Tugasku menjemput, tapi dapet foto... seneng deh...

hahahaha... ^^

Di samping ini merupakan foto terbaru hasil jepretanku...
Ada seorang guru agama yang bersosok kharismatik sedang membimbing murid-muridnya...

Diambil candid, sehingga terlihat dari ekspresi murid-muridnya yang natural.. Hehehe... ^^

Bantuanku untuk Mereka

Kuusap keringatku sambil melirik tiga tubuh ukuran orang dewasa yang sepertinya kukenal tergeletak tak bernyawa di sampingku. Hembusan angin dan kicau burung gagak membawa pikiranku ke masa itu. Masa di mana penuh kebahagiaan, masa kejayaan, dan masa yang sangat menggembirakan. Kesedihan tiada akhir dan letupan amarah jiwaku yang ingin kuungkapkan atas semua hal ini. Aku juga merasakan suatu penyesalan yang penuh dengan kebimbangan akan masa depanku.
***
Saat itu aku duduk di kelas sepuluh SMA di salah satu SMA ternama di kota Solo. Teman-temanku biasa memanggilku Yoga. Beruntungnya diriku karena dilahirkan di keluarga yang cukup. Cukup untuk membayar uang sekolah dan uang saku yang secara reguler diberikan kepadaku dan untuk makan sehari-hari. Teman-temanku begitu ambisius di sekolah, seakan aku tidak mempunyai kesempatan untuk menandingi mereka. Tibalah suatu saat di mana aku memenangkan suatu kejuaraan tingkat nasional.
Pada awalnya aku senang sekali bisa mendapatkan itu. Akan tetapi kemenangan itu membawa suatu dampak dalam hidupku yang sepi ini. Aku begitu sombongnya sehingga kurang memperhatikan pelajaran selanjutnya. Aku baru menyadarinya setelah beberapa saat mendapatkan nilai ulangan harian yang sangat buruk melebihi sebelumnya. Aku mencoba untuk berubah dan tidak menjadi seorang keledai yang memenangkan suatu pacuan kuda.
Aku mempunyai keinginan yang besar. Keinginan yang dipandang orangtua yang membesarkanku sebagai ketidakmungkinan. Aku ingin sekali bisa berkuliah suatu saat nanti di luar negeri. Aku ingin lebih sukses daripada orangtuaku. Aku ingin sekali bisa lebih sukses daripada kakakku yang kesehariannya lebih disayang orangtuaku daripadaku. Ingin rasanya hati ini memperoleh sesuatu yang diimpikannya menjadi kenyataan.
Suatu ketika ibuku berbicara bahwa keuangan keluarga tidak mencukupi apabila aku memang harus berkuliah di luar negeri. Untuk berkuliah di dalam kota saja masih tidak tahu mendapat uang dari mana, apalagi kalau harus ke luar kota, bahkan ke luar negeri. Kata-kata ibuku seketika menusuk anganku untuk mencapai sesuatu yang lebih kuanggap lebih bernilai daripada hidupku saat itu. Di hatiku timbul rasa putus asa yang benar-benar membuatku tidak bersemangat lagi untuk bersekolah karena selama ini memang tujuanku masuk sekolah adalah untuk menambah ilmu dan pergi ke salah satu universitas impianku.
Kakakku tercinta sudah berkuliah di salah satu perguruan tinggi negeri di kota Bandung. Orangtuaku begitu membanggakannya. Terbukti setiap mereka berbincang dengan tetangga pasti diceritakannyalah tentang anak emas itu. Aku tidak tahu mengapa hidupku begitu terkungkung akan hal-hal yang sewajarnya adalah hal kecil tetapi hal itu membuatku sangat gelisah dan bimbang dalam berbuat.
Mendadak keluargaku jatuh miskin karena ayahku ternyata mempunyai hutang yang sangat banyak dan tidak bisa dibayar jika tidak menjual rumah yang kami tinggali. Ke mana kami tinggal? Ke mana kami bertahan hidup? Sejauh ini Tuhan tidak membiarkan keluarga kami lebih menderita dari sebelumnya, tetapi mengapa Tuhan memberikan musibah ini tiba-tiba hingga kami tidak bisa mempersiapkan sebelumnya?
Kami sekeluarga mencari kontrakan rumah di mana-mana. Beruntung kami menemukan sebuah rumah kecil yang bisa kita sebut gubuk yang terletak persis di depan rel kereta api. Aku dan kakakku sudah tidak bisa meneruskan sekolah kami. Pupus sudah harapanku untuk menggapai anganku. Kami terpaksa bekerja semampunya. Ayahku berusaha menjadi seorang buruh bangunan untuk mencukupi kebutuhan kami semua. Ibuku setiap pagi membuat gorengan dan kakakku menjual gorengan tersebut siangnya. Gorengan itu pun dapat dibuat dengan modal sisa terakhir uang kami. Ibuku terlihat lebih kasihan daripada yang sebelumnya. Aku bisa mengingat-ingat bahwa dia saat itu begitu menyebalkan dan inginku memakinya habis-habisan. Semua perasaan itu sirna ketika aku melihat perjuangan keras ibuku yang setuap pagi membuat gorengan dan siangnya menjadi kuli cuci hingga malam. Aku memutuskan diri untuk menjadi tukang semir sepatu di stasiun dekat gubuk kami.
Aku teringat saat itu bahwa kami sempat makan bersama dengan lauk tempe mentah yang dipenyet dengan sambal yang seadanya. Entah mengapa aku merasakan bahwa saat itu adalah saat-saat di mana aku dapat mengambil sesuap nasi dan memasukkannya ke mulutku begitu lezat dan lebih nikmat daripada saat di rumah kami sebelumnya.
Seperti biasanya keesokan harinya ayahku bekerja sebagai buruh bagunan, ibu memasak dan siangnya menjadi tukang cuci. Kakakku seperti biasanya menjual keliling gorengan itu. Kusiapkan alat semirku dan aku mulai beranjak dari bilik kecil di samping rel kereta ini untuk mencari sesuap nasi dan melihat masa depan yang tak pasti. Yang ada di benak kami saat itu adalah mencari uang dan mempertahankan hidup.
Kutawarkan jasaku kepada seorang bapak yang menunggu kereta Prameks tujuan Yogyakarta. Dia langsung menolakku mentah-mentah tanpa ada senyum terlintas di bibirnya. Ku mencoba untuk tak menyerah dan mencari bapak-bapak lain yang sekiranya mau menerima jasaku dan membayarku lebih. Kutemukan bapak berperawakan tinggi besar dengan perut buncitnya menunggu kereta sambil membawa handphonenya dan bercakap dengan sesorang di sana. Dia terlihat begitu ramah dan bersahabat. Ketika aku menwarinya semir sepatu, dia menerimanya dan dengan senyumnya yang begitu lebar. Lima menit pun berlalu, bapak itu memberiku uang sepuluh ribu. Sebenarnya aku mematok harga lima ribu untuk jasaku, tetapi bapak itu berkata bahwa tidak apa-apa,-- untuk makan katanya. Sore pun tiba, aku duduk termenung di bawah tangga stasiun yang menghadap ke barat sambil melihat terbenamnya matahari. Kulihat pancaran sinarnya yang perlahan-lahan sirna. Uang sepuluh ribu tadi agaknya tidak memebawa kegembiraan bagiku.
Terlintas di benakku apakah nasibku akan seperti matahari itu, yang pada suatu saat akan tenggelam, mati dan tidak bertenaga lagi. Aku melihat keadaan keluargaku yang begitu mengenaskan. Aku melihat ayahku, ibuku, dan kakakku yang bekerja dengan giat untuk memperoleh sesuap nasi. Aku merasa bahwa keberadaan keluarga kami di dunia ini seperti layaknya nyamuk yang sesaat mengecap darah seseorang lalu mati karena ditepuk.
Aku kembali ke gubuk lebih awal daripada yang lainnya. Aku mempersiapkan makan malam seperti biasanya. Aku memberikan racun tikus pada makanan ayah, ibu, dan kakakku. Kucampur racun tikus itu sedemikian rupa sehingga tidak terasa aromanya.
Tidak lama kemudian ayahku pulang. Dia bertanya apakah ibuku dan kakakku sudah pulang. Saat ayah bertanya, tiba-tiba dari pintu masukklah mereka berdua karena kebetulan kakak hari ini membantu pekerjaan ibu di rumah bu Parti. Mereka semua berterimakasih kepadaku karena sudah menyiapkan makan malam yang seadanya seperti biasa sebelum mereka datang. Ayahku memimpin doa makan. Mereka memakan makanan dan akupun juga.
Pada awalnya mereka dengan lahapnya tetapi setelah beberapa saat kakakku merasakan ada sesuatu yang aneh dan mulai memegangi kepalanya yang berkunang-kunang. Ibuku membantu kakakku tetapi ternyata ibuku juga merasakan hal yang sama. Ayahku tertegun dan kebingungan akan apa yang harus diperbuat. Ayah melihat ke arahku dengan tatapan penuh emosi karena sepertinya ayah sudah menyadari bahwa semua ini salahku. Tiba-tiba mereka semua terkapar dan mengeluarkan busa dari mulutnya. Mereka mulai kejang-kejang dan menghembuskan nafas terakhir.
Kebodohan macam apa yang sudah aku perbuat? Pikiran apa yang ada di benakku hingga membuat mereka bertiga seperti itu? Terbanyang di anganku bahwa dengan apa yang kulakukan, aku membantu mereka dalam melewati semua kesusahan ini. Lima menit aku berdiam melihat busa-busa itu keluar dari mulut mereka sambil membayangkan bagaimana aku bisa hidup esok hari tanpa mereka. Makin terkuburlah anganku untuk melanjutkan sekolah dan berkuliah di luar negeri. Terkuburlah anganku akan memborong piala dan kejuaraan lain. Ya Tuhan, maafkanlah hambaMu ini.

Intoducing the brand new blog..

Here is my new blog...
Bnernya juga terpaksa soalnya guru TIK tercinta yang namanya tidak boleh disebut menyuruh membuat makalah tentang cara membuat blog..

Terciptalah blog ini sebagai pembuktian saya kepada beliau.
hahahahaha..

Tujuan untama blog ini cuma untuk memamerkan hasil-hasil karyaku dalam bentuk apa saja, seperti foto ato tulisan-tulisan..

Mohon partisipasi dari viewer untuk memberi comment biar saya semakin berkembang dari waktu ke waktu lewat blog ini.. Aminnnnn...

Yeah, itu sedikit introducing saya, semoga berkenan...